Jakarta, Basmitipikor.com— Ketua Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) Provinsi Jambi, Mappangara HK, menuding keras Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jambi serta pihak perusahaan sawit memainkan peran tidak transparan dalam konflik agraria yang merampas tanah adat Suku Anak Dalam (SAD). Ia menegaskan bahwa perjuangan masyarakat SAD bukan sekadar persoalan lahan, melainkan menyangkut martabat dan harga diri komunitas adat.
Ketegangan terjadi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI dengan perwakilan masyarakat SAD. Mappangara HK melontarkan kritik tajam terhadap BPN Jambi dan perusahaan sawit PT Berkat Sawit Utama (BSU), yang menurutnya menjadi penyebab konflik berkepanjangan.
“Kami sudah lelah dimediasi tanpa hasil! Ada permainan kotor antara oknum BPN dan pihak perusahaan. BPN Jambi harus dibersihkan! Jangan jadi pelindung korporasi yang mencaplok tanah adat,” tegas Mappangara di hadapan pimpinan BAM DPR RI, Dr. H. Ahmad Heryawan, di Gedung Nusantara II, Senayan, Rabu (12/11/2025).
Menurut Mappangara, konflik antara masyarakat SAD dan perusahaan sawit di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi, telah berlangsung sejak 1986. Lahan seluas 525 hektare yang sebagian merupakan tanah adat SAD diduga dirampas tanpa adanya ganti rugi.
“Selama hampir 30 tahun masyarakat adat dibiarkan menderita di tanahnya sendiri. Negara seolah buta, aparat seolah tuli. Sampai kapan rakyat kecil harus menunggu keadilan?” serunya lantang.
Dalam forum tersebut, Mappangara menilai BPN Jambi tidak profesional dan melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hak tanah masyarakat adat. Ia bahkan menduga lambannya penanganan memperkuat asumsi adanya kongkalikong antara oknum BPN dan pihak perusahaan.
“Kalau BPN pusat tidak turun langsung ke Jambi, persoalan ini tidak akan pernah selesai. Kami minta gerakan bersih-bersih segera dilakukan!” ujarnya.
Selain BPN, ia juga menyoroti sikap Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Jambi yang dinilai tidak menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat SAD.
“Pemprov dan Pemkab Jambi jangan pura-pura tidak tahu. Ini bukan sekadar tanah—ini soal hidup dan harga diri orang SAD. Pemerintah harus berani menegur perusahaan nakal!” tegasnya.
RDPU tersebut dihadiri perwakilan masyarakat SAD seperti Nurman, Aldi Saputra, Hendra, dan Damsi, serta para pendamping: Mahyudin, Mawardi, dan Wahidah Baharudin Upa, SH. Dalam rapat, Mahyudin memaparkan kronologi konflik sejak 2004 yang tidak kunjung terselesaikan meski telah melalui berbagai upaya mediasi.
Menanggapi hal itu, BAM DPR RI menyatakan komitmennya untuk memanggil seluruh pihak terkait — termasuk BPN, pemerintah daerah, dan manajemen perusahaan — guna mencari solusi konkret dan berkeadilan.
Namun bagi Mappangara dan LCKI, perjuangan ini belum usai. Ia menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawal kasus ini hingga hak adat masyarakat SAD dipulihkan sepenuhnya.
“Kami tidak akan berhenti! Selama keadilan belum ditegakkan, LCKI akan terus berdiri di barisan depan. Negara harus berpihak kepada rakyat, bukan kepada pemodal!” pungkasnya.
Editor: Boni Atolan
Redaksi: Radar Perbatasan

